WIRAUSAHA

I. Bunga Rampai Usaha Kecil Menengah

Instruksi Presiden No. 4 Th 1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, mengamanatkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia, untuk mengembangkan program-program kewirausahaan. Inpres tersebut dikeluarkan bukan tanpa alasan. Pemerintah menyadari betul bahwa dunia usaha merupakan tulang punggung perekonomian nasional, sehingga harus digenjot sedemikian rupa melalui berbagai Departemen Teknis maupun Institusiinstitusi lain yang ada di masyarakat. Melalui gerakan ini pada saatnya budaya kewirausahaan diharapkan menjadi bagian dari etos kerja masyarakat dan bangsa Indonesia, sehingga dapat melahirkan wirausahawan-wirausahawan baru yang handal, tangguh dan mandiri.
Semangat baru dunia yang menggeluti usaha kecil dan menengah (SME) telah berketetapan hati untuk menjadikan UKM sebagai motor pertumbuhan ekonomi di masa depan. Di Indonesia, ketika krisis multidimensi tahun 1997-1998 usaha kecil telah terbukti mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, bahkan memainkan fungsi penyelamatan dibeberapa sub-sektor kegiatan. Fungsi penyelamatan ini segera terlihat pada sektor-sektor penyediaan kebutuhan pokok rakyat melalui produksi dan normalisasi distribusi. Bukti tersebut paling tidak telah menumbuhkan optimisme baru bagi sebagian besar orang yang menguasai sebagian kecil sumber daya akan kemampuannya untuk menjadi motor pertumbuhan bagi pemulihan ekonomi.
Perjalanan ekonomi Indonesia selama 4 tahun dilanda krisis 1997-2001 memberikan perkembangan yang menarik mengenai posisi usaha kecil yang secara relatif menjadi semakin besar sumbangannya terhadap pembentukan PDB. Dalam melihat peranan usaha kecil ke depan dan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai posisi tersebut, maka paling tidak ada dua pertanyaan besar yang harus dijawab : Pertama, apakah UKM mampu menjadi mesin pertumbuhan sebagaimana diharapkan oleh gerakan UKM di dunia yang sudah terbukti berhasil di negara-negara maju; Kedua, apakah UKM mampu menjadi instrumen utama
bagi pemulihan ekonomi Indonesia, terutama memecahkan persoalan pengangguran.
Tahun 2000 telah terjadi tambahan usaha baru yang cukup besar dimana diharapkan mereka ini berasal dari sektor modern/besar dan terkena PHK kemudian menerjuni usaha mandiri. Dengan demikian mereka ini disertai kualitas SDM yang lebih baik dan bahkan mempunyai permodalan sendiri, karena sebagian dari mereka ini berasal dari sektor keuangan/perbankan. Munculnya usaha baru ini akan memberikan harapan baru bagi pertumbuhan usaha, produksi, penyerapan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi.
Mengingat populasi terbesar dari unit usaha yang mengembang pada penyediaan lapangan kerja adalah usaha kecil, maka fokus pembahasan selanjutnya akan ditujukan pada usaha kecil. Tinjauan terhadap keberadaan usaha kecil diberbagai sektor ekonomi dalam pembentukan PBD menjadi dasar pemahaman kita terhadap kekuatan dan kelemahannya, selanjutnya potensinya sebagai motor pertumbuhan perlu ditelaah lebih dalam agar kita mampu menemu kenali persyaratan yang diperlukan untuk pengembangannya.

Kelompok Usaha dan Pembentukan Nilai Tambah
Selama ini yang lazim kita lakukan adalah membuat analisis sumbangan sektor–sektor ekonomi dalam pembentukan PDB. Untuk menilai posisi strategis kelompok usaha terutama usaha kecil hanya akan dapat diperlihatkan melalui konstribusi kelompok usaha menurut sektor ekonomi. Dengan melihat kelompok usaha ini akan mampu melihat kemampuan potensial kelompok usaha dalam menghasilkan pertumbuhan.
Proses transformasi struktural perekonomian kita memang telah berhasil menggeser dominasi sektor pertanian, sehingga sampai dengan menjelang krisis ekonomi (1997) sumbangan sektor pertanian tinggal 16 % saja, sementara sektor industri telah mencapai hampir 27 % dan menjadi penyumbang terbesar dari perekonomian kita. Ini artinya sektor industri telah mengalami pertumbuhan yang pesat selama tiga dasa warsa sebelum krisis semasa pemerintahan Orde Baru. Apabila hanya sepintas melihat perkembangan ini, dengan transformasi struktural dari pertanian ke industri, maka semua kelompok usaha akan ikut menikmati kemajuan yang sama. Sehingga kelompok industri manufaktur skala kecil juga mengalami kemajuan yang sama.
Secara makro proses pemulihan ekonomi Indonesia belum terjadi karena indeks output pada tahun 2001 ini belum kembali pada tingkat sebelum krisis (1997). Perkembangan yang terjadi memperlihatkan bahwa indeks PDB keseluruhan baru mencapai 95% dari tingkat produksi 1997. Sektor yang tumbuh dengan krisis adalah sektor listrik, gas, air minum yang pada 4 tahun terakhir ini tumbuh dengan rata-rata diatas 5%/tahun. Hal ini antar lain disamping output yang meningkat terutama disebabkan oleh penyesuaian harga yang terus berjalan.
Jika kita cermati secara lebih rinci penyumbang PDB atas dasar sektor pelaku usaha akan terlihat jelas adanya ketimpangan tersebut. Tabel 1 menyajikan perbandingan peran 5 besar penyumbang PDB menurut sektor dan kelompok usaha, Sejak sebelum krisis ekonomi, hingga mulai meredanya krisis terlihat bahwa ranking 1 (satu) penyumbang PDB adalah kelompok usaha besar pada sektor industri pengolahan dengan sumbangan berkisar 17-19 % selama 1997- 2001. Ini berarti bahwa untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi semata, ekonomi kita tetap bersandar pada bangkitnya kembali industri pengolahan besar dengan aset diatas Rp. 10 miliar di luar tanah dan bangunan. Sektor industri skala besar hanya terpukul pada saat puncak krisis 1998, dimana pertumbuhan ekonomi kita mengalami pertumbuhan negatif 13,4% ketika itu. Dan setelah itu ketika pemulihan ekonomi mulai bergerak maka kelompok ini kembali mengambil porsi nya.
Pertanyaan yang menarik adalah apakah industri kecil dan menengah tidak bangkit, padahal pada kelompok usaha kecil di seluruh sektor telah mengalami pergeseran peran dengan sumbangan terhadap PDB yang meningkat dari 38,90% pada tahun 1996 atau 40,45% pada tahun 1997 menjadi 43,08% pada tahun 1999 ? Pada sektor industri pengolahan ternyata tidak terjadi perubahan sumbangan usaha kecil yang nyata yakni : 3,90%, 4,03%, 3,85%, 3,74% dan 3,79% berturut–turut untuk tahun 1997, 1998, 1999, 2000 dan 2001. Berarti secara riil tidak ada kemajuan yang berarti bagi peran industri kecil, yang terjadi justru kemerosotan pada beberapa kelompok industri. Dengan gambaran ini memang belum dapat disimpulkan bahwa industri kecil mampu menjadi motor pertumbuhan, sementara industri skala menengah keadaannya jauh lebih parah di banding usaha kecil, sehingga tidak mampu memanfaatkan momentum untuk mengisi kemunduran dari usaha besar dan paling terpukul pada saat krisis memuncak pada tahun 1998-1999. Salah satu sebabnya diduga dikarenakan tingginya ketergantungan usaha menengah terhadap usaha besar, baik karena ketergantungan sebagai industri sub-kontrak maupun ketergantungan pasar dan bahan baku terhadap industri besar.
Selanjutnya penyumbang terbesar kedua adalah kelompok usaha kecil sektor pertanian yang menyumbang sekitar 13-17 % selama periode 1997-2001. Hal yang menarik adalah posisi relatif usaha kecil sektor pertanian yang sangat bergerak cepat dimasa krisis dan kembali merosot ke posisi sebelum krisis. Hal ini perlu mendapatkan penelahaan yang mendalam. Salah satu alasan yang dapat diterima adalah rendahnya harga output produk primer pertanian yang bersamaan dengan naiknya harga input, terutama yang bersumber dari impor. Sektor pertanian yang sangat di dominasi pertanian pangan memang sangat terbatas kemampuannya untuk menjadi sumber pertumbuhan, terutama beras. Pangsa relatif yang membesar terutama disebabkan kemunduran sektor lain ketika pertanian tidak terlalu terpukul, paling tidak tingkat produksi fisiknya. Jika pada tahun 1997 Usaha Kecil sektor pertanian menyumbang sebesar 13,30% pada tahun 1998 dan 1999 meningkat mendekati 17 %, maka pada tahun 2001 diperkirakan akan terus kembali menjadi 13,93 % saja. Keadaan ini akan berlanjut sejalan dengan menurunnya peran sektor pertanian dalam pembentukan PDB.
Jika diperhatikan sektor perdagangan hotel dan restoran kelompok usaha kecil pada saat sebelum krisis menunjukan ranking ke 3 (tiga) dalam sumbangannya pada pembentukan PDB. Ini berarti Usaha Kecil sektor ini sangat penting bagi pembentukan PDB dan penyediaan lapangan kerja dengan sumbangan diatas 11 % terhadap PDB kita. Namun sejak dua tahun terakhir ketika krisis mulai pulih posisi ranking ke 3 (tiga) mulai digusur oleh sektor pertambangan kelompok usaha besar. Dengan demikian peran Usaha Kecil sektor perdagangan hotel dan restoran sebagai sumber pertumbuhan juga semakin merosot, sehingga lampu merah sudah hampir tiba peran kelompok usaha kecil porsinya untuk menghasilkan sumbangan bagi pertumbuhan PDB semakin kurang dominan. Sektor pertambangan usaha besar bahkan sudah mendekati Usaha Kecil sektor pertanian.
Sektor jasa-jasa menempati urutan kelima dengan sumbangan sekitar 4-5 % dan didominasi oleh usaha besar. Sektor ini nampaknya tidak terlalu penting dalam menyumbang pertumbuhan, namun jasanya sangat vital untuk mendukung pertumbuhan. Sektor jasa-jasa ini memiliki kaitan yang luas dalam proses produksi dan distribusi dan memberikan dukungan yang sangat berarti. Sektor jasa yang besar adalah jasa yang dihasilkan oleh pemerintah, karena peran pemerintah dalam pengeluaran juga mempunyai peran yang penting.
Dengan semakin merosotnya peran usaha kecil di sektor pertanian dan perdagangan, maka dua penyumbang besar terhadap nilai tambah dari kelompok usaha kecil ini dominasinya juga akan semakin mengecil dalam pembentukan PDB. Sehingga jika kecenderungan ini dibiarkan maka posisi usaha kecil akan kembali seperti sebelum krisis atau bahkan mengecil. Sementara itu usaha menengah yang sejak krisis mengalami kemerosotan diberbagai sektor, maka posisi usaha menengah semakin tidak menguntungkan. Padahal dalam proses modernisasi dan demokratisasi peranan kelas menengah ini sangat penting terutama untuk meningkatkan daya saing. Karena usaha menengah lebih mudah melakukan modernisasi dan mengembangkan jaringan ke luar negeri dalam rangka perluasan pasar.
Pelajaran menarik dari hasil penelaahan ini adalah bahwa dalam proses transisi yang terjadi selama krisis, kemajuan relatif yang dicapai oleh UKM hanya karena mandegnya usaha besar. Usaha menengah tidak mungkin bergerak tanpa dukungan jasa keuangan perbankan yang fleksible sehingga ketika bank rontok maka usaha menengah juga tidak mampu berbuat apa-apa, usaha kecil bertahan karena dia harus hidup.

Hambatan Usaha Kecil sebagai Motor Pertumbuhan
Memperhatikan analisis pada bagian sebelumnya dapat kita catat bahwa potensi usaha kecil sebagai motor pertumbuhan ekonomi bagi pemulihan krisis ekonomi. Untuk dapat mencerna secara tepat faktor-faktor yang menjadi kendala bagi ekspansi usaha kecil maka diperlukan pendalaman dengan membuat disagregrasi kelompok usaha kecil. Sebagaimana diketahui sesuai hasil pengolahan data tahun 1993 dari sektor usaha kecil sekitar 97% terdiri dari usaha kecil-kecil (mikro) dengan omset dibawah Rp. 50 juta,-. Dengan demikian mayoritas usaha kecil adalah usaha mikro dan sebagian terbesar berada di sektor pertanian dan perdagangan, hotel dan restoran.
Masalah mendasar yang membatasi ekspansi usaha kecil adalah realitas bahwa produktivitasnya rendah sebagaimana diperlihatkan oleh nilai tambah/tenaga kerja. Secara keseluruhan perbandingan nilai tambah/tenaga kerja untuk usaha kecil hanya sekitar seper duaratus (1/200) kali nilai tambah/tenaga kerja untuk usaha besar. Jika dilihat periode sebelum krisis dan keadaan pada saat ini ketika mulai ada upaya ke arah pemulihan ekonomi. Pada tahun 2001, mengecil menjadi 0,55. Hal ini menunjukkan bahwa potensi untuk menutup gap antara produktivitas UK dan UB malah menjadi semakin tipis, atau jurang perbedaan produktivitas (nilai tambah/tenaga kerja) akan tetap besar.
Sudah menjadi pengertian umum bahwa produktivitas sektor industri, terutama industri pengolahan seharusnya mempunyai nilai tambah yang lebih besar. Sebenarnya sektor pertanian memiliki produktivitas terendah dalam pembentukan nilai tambah terutama di kelompok usaha kecil yang hanya merupakan sekitar tiga perempat produktivitas usaha kecil secara keseluruhan yang didominasi oleh usaha pertanian. Namun pengalaman Indonesia dimasa krisis menunjukan, bahwa yang terjadi sebaliknya dengan demikian dalam suasana krisis masih sangat sulit mengharapkan sektor industri kecil kita untuk diharapkan menjadi motor pertumbuhan untuk pemulihan ekonomi.
Pembentukan nilai tambah/tenaga kerja untuk kelompok usaha yang sama (usaha kecil) diberbagai sektor dapat menggambarkan potensi peningkatan produktivitas melalui transformasi dari sektor tradisional ke sektor modern misalnya dari sektor pertanian ke sektor industri dan perdagangan. Rasio nilai tambah/TK untuk UK-pertanian dibanding UK-Industri pengolahan mengalami peningkatan dari 0,74 pada tahun 1997 menjadi 0,82 pada tahun 2001. Peningkatan ini menggambarkan bahwa industri pengolahan semasa krisis tidak memberikan kontribusi nyata dalam perbaikan produktivitas dibanding usaha kecil di sektor pertanian. Alasan lain yang dapat menjelaskan fenomena tersebut adalah kenyataan bahwa di sektor industri selama krisis sebagian besar berproduksi dibawah kapasitas penuh atau bahkan menganggur sehingga nilai tambah/TK tidak memunjukkan peningkatan yang berarti.
Pertanyaan kritis yang harus dijawab adalah apakah sub-sektor industri kecil mampu di gerakan dalam jangka pendek, karena terbukti selama tiga tahun melewati krisis kecenderungannya sama yakni sekedar bertahan dari keterpurukan lebih parah. Untuk melihat potensi relatif sektor industri sebagai instrumen transformasi sektor tradisional (pertanian) ke modern (industri pengolahan) atau proses ke lanjutan untuk nilai tambah, maka dapat dilihat kemajuan relatif produktivitas kedua sektor untuk usaha kecil. Rasio nilai tambah/tenaga kerja pada tahun 1997 sebesar 0,55 berubah menjadi 0,56 pada tahun 2001 ini berarti tidak terjadi kemajuan yang berarti dalam perbaikan produktivitas, atau krisis justru menyebabkan “back push” atau dorongan ke belakang ke sektor tradisional. Secara empiris kesimpulan ini juga didukung oleh banyaknya profesional dari sektor modern yang terkena dampak krisis kembali melakukan alih usaha ke sektor agribisnis, karena pasarnya jelas dan peluangnya masih cukup besar.
Hambatan untuk meningkatkan produktivitas usaha kecil mikro tidak terlepas dari kemampuan mengadopsi teknologi termasuk untuk alih usaha, alih kegiatan, alih komoditas. Karena selama ini meskipun mereka telah mengalami transformasi dari sektor pertanian ke non pertanian namun tetap dalam papan bawah. Apabila keadaan ini tidak dapat didobrak maka yang terjadi adalah apapun program yang dicurahkan bagi pengembangan usaha mikro tidak berhasil meningkatkan nilai tambah. Atau jika berhasil nilai tambah tersebut diserap oleh sektor lain yang menyediakan input atau jasa pendukung bagi usaha mikro. Gambaran ini mengindikasikan bahwa industri kecil tidak dapat memikul harapan yang terlampau besar untuk menjadi motor pertumbuhan.

Prasyarat Bagi Memajukan UKM
Posisi UKM, terutama usaha kecil di dominasi oleh dua sektor yakni sektor pertanian dan perdagangan hotel dan restoran, sehingga fokus lebih besar juga harus ditujukan kepada kedua kelompok ini. Pada sektor perdagangan, hotel dan restoran persoalannya sangat rumit karena sektor ini sangat mudah dimasuki oleh UK baru meskipun dengan keterampilan rendah. Sehingga barrier perbaikan produktivitas sangat tinggi karena adanya kompetisi yang tajam terutama di sub – sektor perdagangan eceran.
Untuk sektor pertanian untuk mendobrak kungkungan produktivitas/TK yang rendah harus disertai dengan perubahan mendasar paradigma pengembangan pertanian. Mendorong pertumbuhan produktivitas fisik tanpa diimbangi dengan pergeseran pada kegiatan bernilai tambah tinggi hanya akan sia – sia. Untuk itu peningkatan kapasitas serap atau kepadatan investasi disektor pertanian harus menjadi acuan baru untuk menggerakkan pertanian. Sub sektor pertanian tanaman pangan harus didorong untuk menghasilkan produk – produk yang bernilai tambah tinggi dan kekangan melalui program komoditas perlu dilonggarkan. Hal ini sejalan dengan semangat keterbukaan dalam perdagangan, sehingga berbagai hambatan tarif dengan cara perlahan harus mulai diturunkan.
Jika dilihat struktur usaha kecil, maka dapat dipisah kan menjadi dua kelompok besar yaitu usaha mikro dan usaha kecil. Berdasarkan perkiraan BPS (2001) terdapat lebih dari 40 juta unit usaha dan hanya 57,473 usaha menengah serta 2095 usaha besar. Jika perubahan besar dalam distribusi antara usaha mikro dan usaha kecil dalam kelompok usaha yang memiliki omset dibawah Rp. 1 miliar tidak banyak berubah, maka sebenarnya jumlah usaha kecil yang memiliki omset diatas Rp. 50 juta/tahun hanya dibawah 1 juta sementara 39 juta lainnya adalah usaha mikro yang omset nya hanya berada dibawah Rp. 50 juta/tahun dan populasi terbesar berada di sektor pertanian (rumah tangga) dan perdagangan umum, terutama perdagangan eceran. Untuk membangun UKM di Indonesia agar dapat menjadi mesin pertumbuhan diperlukan reformasi kebijakan yang mendasar.
Prof. Urata yang memimpin misi ahli pemerintah Jepang untuk membantu merumuskan kebijakan UKM dalam rangka pemulihan ekonomi Indonesia pada tahun 1999-2000, mengemukakan bahwa potensi UKM Indonesia cukup besar untuk pemulihan ekonomi. Namun pemerintah harus menentukan pilihan yang menjadi fokus perhatian yaitu pada UKM yang viable saja. UKM viable yang dimaksud adalah mereka yang dengan sentuhan sedikit saja akan mampu berkembang sebagaimana lazimnya usaha yang mampu bersaing di pasar Internasional dan mampu memanfaatkan jasa perbankan modern. Kelompok ini sangat berbeda dengan kelompok mikro yang memiliki motif utama untuk bertahan atau “Survival” untuk menopang kehidupan mereka.
Reformasi kebijakan pembinaan yang diperlukan termasuk pemisahan atau pengembangan usaha kecil (usaha mikro) untuk tujuan penanggulan kemiskinan dan usaha pengembangan UKM untuk tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan ekspor. Penanganan ini akan sangat penting untuk menghindari kesimpang siuran konsep dan strategi pembinaan yang dapat membingungkan bagi khalayak sasaran dan para pelaksana di daerah. Masalah ini secara khusus memang memerlukan peninjauan yang mendalam, karena adanya “dismatching” antara undang-undang, pengorganisasian pembinaan oleh pemerintah dan tuntutan pasar. Masalah UKM tidak dapat dikerjakan oleh satu instansi saja, tetapi juga bukan merupakan kerja semua instansi.
Secara legal setiap usaha yang ada di berbagai sektor ekonomi menurut pengertian UU No.9/1995 dapat dikategorikan sebagai usaha kecil sepanjang omset nya berada di bawah Rp. 1 miliar, memiliki aset kurang dari Rp. 200 juta di luar tanah dan bangunan dan bukan merupakan anak perusahaan dari usaha besar. Cakupan yang luas dan melebar memang menyebabkan fokus pengembangan sering tidak efektif, karena karakter dan orientasi bisnis yang dijalankan oleh para pemilik usaha, jika digunakan basis penyediaan pembiayaan sebagai pengolah pakar maka usaha kecil dalam pengertian UU No. 9/1995 dapat dibedakan menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok usaha mikro dengan omset dibawah Rp. 50 juta yang diperkirakan merupakan 97 % dari seluruh populasi usaha kecil.
2. Kelompok usaha kecil dengan omset antara Rp. 50 juta – Rp. 500 juta yang jumlahnya relatif kecil hanya sekitar 2 % dari seluruh populasi usaha kecil.
3. Kelompok usaha kecil menengah mungkin dapat kita sebut usaha mikro yang memiliki omset antara Rp. 500 juta – Rp. 1 miliar dan relatif sangat kecil jumlahnya yaitu kurang dari 1 % atau tepatnya sekitar 0,5 % saja.
Dalam kelompok usaha mikro sendiri sebenarnya masih terdapat perbedaan yang mencolok dalam setiap lapisan skala bisnis. Namun demikian kelompok usaha mikro ini dapat kita golongkan ke dalam program penyediaan lapangan kerja untuk penanggulangan kemiskinan. Dalam kaitan ini didalamnya termasuk pada orientasi yang bersifat penciptaan katup pengaman dan penciptaan dinamika kelompok untuk perbaikan produktivitas. Arah dari program ini adalah menahan agar tidak terjadi kemerosotan taraf hidup ke arah jurang yang lebih dalam, sehingga tidak menimbulkan korban bagi perekonomian secara keseluruhan sehingga dapat digolongkan dalam kelompok jaring pengaman sosial.
Bagi usaha mikro yang merupakan kegiatan ekonomi riel, namun masih menghadapi kendala struktural akibat kungkungan tradisi dan pengaruh kebijakan pembangunan di masa lalu. Salah satu bukti kuat terjadinya kungkungan tersebut adalah rendahnya produktivitas per tenaga kerja. Untuk mengangkat mereka dari kungkungan tersebut memang harus dilakukan dengan penetapan prioritas yang tajam. Sebagai contoh di sektor pertanian rakyat, upaya khusus untuk melihat berbagai kemungkinan mengangkat petani lahan luas (di atas 1 hektar) untuk dapat keluar dari kelompok usaha mikro yang omset nya hanya berada dibawah Rp. 50 juta,-/tahun.
Strategi dasar pembinaan usaha kecil untuk pertumbuhan, haruslah berani menetapkan sasaran individual untuk mengangkat usaha mikro potensial menjadi usaha kecil. Penciptaan usaha kecil baru ini mempunyai posisi kunci sebagai pendobrak kebekuan kungkungan produktivitas rendah. Memperbanyak jumlah usaha mikro untuk keluar dari kelompoknya akan membuat gerakan “Big Impact” dari bawah dari usaha kecil sendiri.
Untuk penciptaan basis UKM yang kokoh pendekatan pengembangan Klaster Bisnis/Industri perlu ditumbuh kembangkan. Kehadiran klaster yang senergik dari kegiatan hulu ke hilir, atau antara kegiatan inti (pokok) dengan kegiatan pendukung, penyediaan bahan baku dan outlet pemasaran akan mempercepat dinamika usaha di dalam klaster tersebut, termasuk interaksi dengan usaha besar yang ada di kawasan tersebut atau terkait. Pendekatan klastering ini pada dasarnya untuk mengefektifkan pola pengembangan dengan menjadikannya sebagai titik pertumbuhan bagi bisnis UKM. Inti dari strategy penciptaan klaster yang terpadu dan kokoh adalah membangun suatu sinergi untuk mencapai suatu “broad base economic growth” atau pertumbuhan ekonomi dengan basis yang luas.
Dari sisi dukungan yang diperlukan maka prasyarat utama adalah bahwa dalam semangat otonomi setiap pemerintah daerah harus memberikan dukungan administratif dan lingkungan kondusif bagi berkembangnya bisnis UKM. Ini menjadi mutlak karena dengan otonomi daerah maka kewenangan pengaturan pemerintahan dan pembangunan secara lokal berada di daerah. Kebijakan makro dan moneter secara nasional hanya bersifat memberikan arah dan sinyal alokasi sumberdaya dan kesepakatan internasional terhadap dunia bisnis di daerah.
Dukungan lain yang penting adalah dukungan non finansial dalam pengembangan bisnis UKM. Sejumlah praktek terbaik dalam persuasi UKM melalui inkubator, kawasan berikat, konsultasi bisnis maupun hubungan bisnis antar pengusaha dalam klaster harus dijadikan pelajaran untuk mencari kesesuaian dengan jenis kegiatan atau industri dan kultur masyarakat pengusaha, termasuk didalamya pengalaman kegagalan lingkungan industri yang mencoba memindahkan lokasi untuk penciptaan klaster. Klaster yang inovatif akan tumbuh dengan perkembangan kultur yang mendukung. Dukungan pengembangan bisnis semacam ini harus ditumbuhkan menjadi suatu bisnis yang berorientasi komersial.
Dan akhirnya dukungan finansial yang meluas harus didasarkan pada prinsip intermediasi yang efesien. Berbagai lembaga pembiayaan yang sesuai harus ditumbuhkan dan menjangkau klaster-klaster yang telah berkembang, sehingga pilar bagi tumbuhnya bisnis UKM yang didukung oleh kesatuan sistem produksi dan keberadaan bisnis jasa pengembangan bisnis serta keuangan menjadi benar-benar hadir di kawasan klaster di maksud. Lembaga pembiayaan dimaksud dapat berupa bank, lembaga keuangan bukan bank dan lembaga-lembaga keuangan masyarakat sendiri (lokal).
Dengan dua basis pendekatan tadi akan tercipta lapisan pengusaha yang dapat menjadi lokomotif penarik bagi kemajuan masing-masing lapisan pengusaha. Sasarannya jelas memperbanyak pengusaha mikro yang dapat segera lepas dari tiap usaha mikro dan selanjutnya menjadikan klaster sebagai satuan bisnis yang layak dan mampu berkembang (Viable). Persyaratan ini yang harus dipenuhi untuk menjadikan usaha kecil sebagai motor pertumbuhan.

Pengembangan UKM dengan Pendekatan Klaster Bisnis
Usaha kecil dalam keadaannya yang ada tidak mungkin dijadikan motor pertumbuhan karena populasi terbesar adalah usaha mikro yang pada intinya hanya bersifat sub sistem. Untuk keluar dari jebakan ini maka strategi dasar adalah membebaskan diri untuk keluar dari usaha mikro secara meluas. Untuk pengembangan usaha kecil yang berdaya saing maka pendekatan klaster bisnis usaha kecil / industri kecil dapat dijadikan dasar penciptaan dinamika yang luas bagi penciptaan basis pertumbuhan yang luas (broad base economic growth). Suatu jaringan klaster UKM bisnis yang efektif, efisien dan tumbuh berkelanjutan, berupa : pengembangan jaringan usaha bisnis mulai hulu sampai hilir dalam manajemen yang solid dan terintegrasi untuk mencapai keberhasilan usaha yang berkelanjutan dan juga dapat menjawab berbagai tantangan zaman yang semakin kompetitif dan mengglobal.
II. Lingkup Kewirausahaan

Dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak orang yang menafsirkan dan memandang bahwa kewirausahaan identik dengan apa yang dimiliki dan baru dilakukan “usahawan” atau “wiraswasta”. Pandangan tersebut tidaklah tepat, karena jiwa dan sikap kewirausahaan (entrepreneurship) tidak hanya dimiliki oleh usahawan akan tetapi dimiliki oleh setiap orang yang berfikir kreaktif dan bertindak inofatif baik kalangan usahawan maupun masyarakat umum seperti petani karyawan, pegawai pemerintah, mahasiswa, guru, dan pimpinan organisasi lainnya.
Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang menjadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (create new and different) melaui berfikir kretif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang. Proses krestif daan inovatif tersbut biassaanya diawali dengan memunculkan ide-ide dan pemikiran-pemikiran baru untuk mencptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Sesuatu yang baru dan berbeda merupakan nilai tambah barang dan jasa yang menjaddi sumber keunggulan untuk dijadikan peluang. Jadi kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalammenciptakan nilai tambah di pasar melalui proses pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda, melalui: (1) pengembangan teknologi baru (2) penemuan pengetahuan ilmiah baru (3) perbaikan produk barang dan jasa yang ada (4) penemuan cara-cra baru untuk menghasilkan barang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih efisien.
Kreatifitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara-cara baru dalam pemecahan masalah dan menemukan peluang (thinking new thing). Sedangkan inofasi adalah kemampuan untuk menerapkan kreatifitas dalam rangkan pemecahan masalah dan menemukan peluang (doing new thing). Jadi, kreatifitas aalah kemampuan untuk memikirkan seuatu yang baru dan berbeda, sedangkan inofasi merupakan kemampuan untuk melakukan yang baru dan berbeda. Sesuatu yang baru dan berbeda tersebut terdapat dalam bentuk hasil seperti barang dan jasa, dan bisa dalam bentuk proses seperti ide, metode, dan cara. Sesuatu yang baru dan berbeda yang diciptakan melalui proses berfikir kreatif dan bertindak inofatif merupakan nilai tambah (value added) dan merupakan keunggulan yang berharga.

Kopetensi Kewirusahaan
wirausaha yang sukses pada umumya ialah mereka yang memiliki kopetensi, yaitu seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kualitas individu yang meliputi sikap, motivasi, nilai serta tingkah laku yang diperlikan untuk melaksanakan pekerjaan/kegiatan. Wirausaha tidak hanya memerlukanan pengetahuan tetap juga memerlukanan keterampilan,. Keterampilan tersebut diantaranya meliputi keterampilan manajerial (managerial skill), keterampilan konseptual (conceptual skill) dan keterampilan memahami, mengerti, berkomunikasi dan berelaksi (human skill) dan keterampilan merumuskan masalah dan mengambil keputusan (decision making skill), keterampilan mengatur dan menggunakan waktu (time management skill) dan keterampilan teknik lainya. Akan tetapi memiliki pengetahuan dan keerampilan saja tidaklah cukup, wirausaha harus memiliki sikap positif, motivasi dan selalu berkomitmen terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan.
Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampua individu (personality) yang langsung berpengaruh pada kinerja. Kinerja bagi wirausaha merupakan tujuan yang selalu ingin dicapai.

Disiplin Ilmu Kewirausahaan
Ilmu kewirausahaan adalah uatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan (Ability) dan perilaku seseorang dalam mengahadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang dengan berbagai resiko yang mungkin dihadapi. Dalam konteks bisnis menurut Thomas W. Zimmerel (1996) kewiraushaan adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis penerapan krestifitas dan inovasi dalam memenuhi kebutuhan peluang dipasar.
Menurut Soeharto Prawirokusumo (1997) pendidikan kewirausahaan telah diajarkan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang independen karena
1. Kewirausahaan berisi Body Of Knowlegde yang utuh dan nyata, yaitu ada teori, konsep dan metode ilmiah yang lengkap.
2. Kewirausahaan memiliki dua konsep, yaitu posisi Venture Start-Up dan Venture growth, ini jelas tidak masuk dalamkerangka pendidikan menegemen umum (Frame Work General Courses) yang memisahkan menegemen dan kepemilikan usaha (Bussines ownership).
3. Kewirausahaan merupak disiplin ilmu yang memiliki objek tersendiri, yaitu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang berbeda.
4. Kewirausahaan merupakan alat untuk menciptakan pemerataaan berusaha dan pemerataan pendapatan atau kesejahteraan yang adil dan makmur.

Objek Studi Kewirausahaan
Seperti yang telah dikemukakan diatas, kewirausahaan mempelajari nilai, kemampuan dan perilaku seseorang dalam berkreasi dan berinovasi. Oleh sebab itu, objek studi kewirausahaan adalah nilai-nilai dan kemampuan (ability) seseorang yang diwujudkan dalam bentuk perilaku. Menurut Soeparman Soemahamidjaja (1997) kemampuan seseorang yang menjadi objek kewirausahaan meliputi:
1. Kemampuan merumuskan tujuan hidup atau usaha
2. Kemampuan memotivasi diri
3. Kemampuan untuk beinisiatif
4. Kemampuan berinovasi
5. Kemampuan untuk membentuk modal uang atau barang modal
6. Kemampuan untuk mengatur dan membiasakan diri
7. Kemampuan mental yang dilandasi dengan agama
8. Kemampuan untuk membiasakan diri dalam mengambil hikmah

Nilai-Nilai Hakiki Kewirausahaan
Karakteristik kewirausahaan memiliki makna dan peranan tersendiri yang disebut nilai. Penerapan masing-masing nilai sangat tergantung pada fokus dan tujuan masing-masing wirausaha. Ada beberapa nilai hakiki kewirausahaan yang penting bagi kewirausahaan tersebut antara lain:
1. Percaya Diri (Self Confidence)
Percaya diri merupakan suatu paduan sikap dan keyakinan seseorang dalam menghadapi tugas atau pekerjaan (Soesarsono Wijandi, 1988). Dalam prakteknya sikap dan kepercayaan ini merupakan sikap dan keyakinan untuk memulai, melakukan dan menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan yang dihadapi. Oleh sebab itu kepercayaan diri memiliki nilai keyakinan, optimisme, individualisme dan tidak tergantung pada pihak lain.
2. Berorientasi Tugas Dan Hasil
Seseorang yang selalu mengutamakan tugas dan hasil adalah orang yang selalu mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi, berorientasi pada laba ketekunan dan ketabahan, tekat kerja keras, mempunyai dorongan kuat, energi dan berinisiatif. Berinisiatif artinya selalu mencari dan memulai sesuatu yang baru dengan niat dan tekat yang kuat serta karsa yang besar. Perilaku berinisiatif ini biasanya diperoleh dari pelatihan dan pengalaman.
3. Keberanian mengambil resiko
kemauan dan kemampuan untuk mengambil resiko merupakan salah satu nilai utama dalam kewirausahaan. Wirausaha yang tidak mau mengambil resiko akan sukar memulai berinisiatif. Resiko yang terlalu rendah akan memperoleh sukses yang relatif rendah. Sebalikknya resiko yang tinggi kemungkinan memperoleh sukses akan lebih tinggi, tetapi dengan kegagalan yang sangat tinggi pula. Oleh sebab itu, keberanian untuk mengambil resiko yang menjadi nilai kewirausahaan adalah pengambilan resiko yang penuh dengan perhitungan dan realistis. Dalam dituasi resiko dan ketidak pastian, wirausaha mengambil keputusan yang mengandung potensi kegagalan atau keberhasilan. Ada dua alternatif yang dapat dipilih yaitu alternatif yang mengandung resiko dan alternatif yang konserfatif (Meredit, 1996).
4. Kepemimpinan
Seorang wirausaha yang berhasil selalu memiliki sifat kepemimpinan, kepeloporan, dan keteladanan. Dengan menggunakan kemampuan kreaktifita dan inovasi, wirausaha selalu menampilkan barang dan jasa yang dihasilkannya dengan lebuh cepat, lebih dulu dan segera ada dipasar sehingga ia menjadi pelopor baik dalam proses produksi maupun dalam pemasaran.
6 . Berorientasi Kemasa Depan.
Orang yang berorientsi kemasa depan adalah orang yang memiliki perspektif dan pandangan kemasa depan sehingga ia selalu berusaha untuk berkarsa dan berkarya, kuncinya adalah pada kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan apa yang sudah ada sekarang, dengan berbagai resiko yang mungkin terjadi. Hal ini mnyebabkan wirausahawan tidak cepat puas dengan karsa dan karya yang dihasilkannya, sehingga ia selalu memepersiapkan diri dengan mencari suatu peluang.
7. Keorisinilan: Kreatifitas dan Inovasi
kreaktifitas adalah berfikir sesuatu yang baru, sedangkan inofasi adalah melakukan sesuatu yang baru. Dari definisi tersebut kreaktifitas mengandung arti:
a. Kreatifitas adalah menciptakan sesuatu yang asalnya tidak ada.
b. Hasil kerjasama masa kini untuk memperbaiki masa lalu dengan cara baru.
c. Menggantikan sesuatu dengan sesuatu yang lebih sederhana dan lebih baik.
d. Menciptakan dan memiliki jaringan yang luas
Wirausahawan yang inovatif adalah orang yang kreaktif dan yakin dengan adanya 8. jujur dan tekun
Jujur dan tekuin mengisaratkan dirinya mempunyai keyakinan bahwa hidup itu adalah sesuai dengan kerja.
cara-cara baru yang lebih baik (Yuyun Wirasasmiata, 1994) ciri-cirinya adalah:
a. Tidak pernah puas dengan cara-cara yang dilakukan saat ini, meskipun cara tersebut cukup baik
b. Selalu menuangkan imajinasi dalam setiap pekerjaannya.
c. Selalu ingin tampil beda atau selalu menmanfaatkan perbedaan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "WIRAUSAHA"

Post a Comment